FOTO
INFO Kajian Rutin di Masjid Mujahidin Kembiritan Genteng Banyuwangi (Bakda Maghrib), Senin & Selasa (Bahasa Arab) : Ustadz Munir, Rabu (Syarhus Sunnah) : Ustadz Tanzilul Furqan, Kamis (Tafsir Ibnu Katsier) : Ustadz Arif Bachtiar, Jum'at (Tahsin) : Ustadz Arif Bachtiar, Sabtu (Bulughul Maram) : Ustadz M. Ayyub, Lc. Kontak Kami : NAJIB (082330757075)
KEGIATAN MANASIK HAJI

Kegiatan Berlangsung di Area Sekolah Oleh Guru Kelas

Media Interaktif Multimedia Komputer

Kegiatan Berlangsung di Laboratorium Komputer

Berprestasi Dalam Setiap Kompetensi

Penghargaan di Berikan di Sela Acara Kegiatan di TK Al Umm

Praktek Sholat Berjamaah di Sentra Ibadah

Kegitan Berlangsung di Aula Musholla TK Al Umm

Belajar Seni Beladiri Tapak Suci

Kegiatan Ekstrakurikuler di TK Al Umm Kembiritan

Rabu, 16 Januari 2013

Wanita Shalihah Bersama Suami Terakhirnya di dalam Surga

Beliau ditanya: setelah masa iddah-ku selesai disebabkan karena suamiku meninggal, ada beberapa orang yang datang melamarku, dan aku enggan menikah agar aku menjadi istri bagi suami pertamaku yang telah meninggal, yang ketika aku bersamanya kami memiliki 3 orang anak.
Alasanku dalam hal ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam:

«المَرْأَةُ لآخِرِ أَزْوَاجِهَا»

"seorang wanita itu bersama suami terakhirnya."

Dan telah dipraktekkan pula oleh Ummu Darda' radhiallahu anha, apakah aku berdosa jika aku menolak untuk menerima pinangan orang yang telah diridhai agama dan akhlaknya?

Beliau -hafizhahullah- menjawab:

الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاةُ والسلامُ على مَنْ أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصَحْبِهِ وإخوانِه إلى يوم الدِّين، أمّا بعد:

Seorang wanita jika berada dibawah bimbingan seorang suami yang saleh lalu suaminya meninggal, dan si istri terus berstatus sebagai janda setelahnya dan tidak menikah, Allah akan mengumpulkan keduanya di dalam surga, dan jika dia memiliki beberapa suami di dunia, maka dia di dalam surga bersama suami terakhirnya jika mereka sama dalam akhlak dan kesalehannya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa aalihi wasallam :

«المَرْأَةُ لآخِرِ أَزْوَاجِهَا»

"seorang wanita bersama suami terakhirnya."

(Dikeluarkan Ath-Thabarani dalam "al-mu'jam al-ausath" (3/275),dari hadits Abu Darda' radhiallahu anhu. Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam silsilah Ash-shahihah (3/275)

Seorang wanita jika mengkhawatirkan atas dirinya fitnah atau dia tidak punya kemampuan untuk sendirian dalam mengurusi dirinya dan keperluan anak-anaknya baik dari sisi nafkahnya, dan juga pendidikannya, maka jika ada seorang lelaki yang datang melamarnya yang telah diridhai agama serta akhlaknya, dan lelaki ini punya kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhannya serta nafkah untuk anak-anaknya, maka tidak sepantasnya wanita tersebut menolaknya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa aalihi wasallam :

إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ

"jika ada orang yang datang kepadamu lelaki yang telah engkau senangi agama dan akhlaknya maka nikahkanlah dia."

(HR.Tirmidzi,kitab annikah,bab: ma jaa' idza jaa'akum man tardhaunadiinahu fazawwijuuhu (1108),Baihaqi, kitab an-nikah,bab: at-targhib fit tazwiij min dzid diin wal khluluq al-mardhi (13863), dari hadits Abu Hatim Al-Muzani radhiallahu anhu, dihasankan Al-Albani dalam al-irwaa' (6/266).)

Dan juga mengamalkan kaedah yang berbunyi:

«دَرْءُ المَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ المَصَالِحِ»

"menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mendatangkan maslahat."

Jika suami pertama itu setara dengan suami pertamanya yang telah meninggal dalam hal akhlak dan kesalehannya,maka dia (wanita tersebut) bersama yang paling terakhir dari keduanya, namun jika tidak setara maka dia memilih yang paling baik kesalehan dan akhlaknya. Telah datang riwayat yang semakna dengan ini yang kedudukannya lemah dan mungkar dari hadits Ummu Salamah radhiallahu anha, dimana Dia bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa aalihi wasallam tentang seorang wanita yang menikah dengan dua lelaki, tiga dan empat, lalu wanita tersebut meninggal, dan mereka (para suaminya) masuk surga bersamanya, siapakah yang menjadi suaminya? Jawab Rasul Shallallahu alaihi wa aalihi wasallam:

«يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهَا تُخَيَّرُ فَتَخْتَارُ أَحْسَنَهُمْ خُلُقًا»

"wahai Ummu Salamah,dia akan diberi pilihan sehingga dia memilih yang paling baik diantara mereka."

(dikeluarkan Thabarani dalam almu'jam al-kabir (23/367),dan dalam al-ausath (3/279), dari hadits Ummu Salamah radhiallahu anha. Berkata Al-Haitsami dalam "majma' az-zawaaid" (7/255):"diriwayatkan Thabarani dan padanya terdapat seseorang bernama Sulaiman bin Abi Karimah,Dia dilemahkan oleh Abu Hatim dan Ibnu Adi." Juga dilemahkan Al-Albani dalam "dha'if at-targhib wat tarhib" (2/254) . Demikian pula dari hadits Ummu Habibah radhiallahu anha dikeluarkan At-Thabarani dalam "al-kabir" (23/222), Abd bin Humaid dalam musnadnya (1/365). Berkata Al-Haitsami dalam majma' az-zawaaid (8/52) : "diriwayatkan Ath-Thabarani dan Al-Bazzar secara ringkas, padanya terdapat Ubaid bin Ishaq dan dia seorang yang matruk (ditinggal haditsnya), sedangkan Abu Hatim meridhainya, dan dia perawi paling buruk keadaannya."

Hanya saja,mungkin dijadikan sebagai dalil dari keumuman firman Allah Azza wajalla:

﴿فِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الأَنفُسُ﴾

"di dalamnya (surga) apa saja yang disenangi oleh jiwa."

(QS.Az-Zukhruf: 71)

Maka dia diberi pilihan sehingga diapun memilih yang dia sukai akhlak dan kesalehannya, sebagaimana faedah yang juga dipetik dari firman-Nya:

﴿هُمْ وَأَزْوَاجُهُمْ فِي ظِلاَلٍ﴾

"mereka bersama dengan istri-istri mereka dibawah naungan (surga)."

(QS.Yasin: 56)

Dimana seorang wanita bersama dengan yang paling mendekatinya dalam hal agama,akhlak, watak, disebabkan pernikahan yang melahirkan perasaan cinta dan kasih sayang,saling akrab dan saling mencintai, berdasarkan firman Allah Azza wajalla:

﴿وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ﴾

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."

(QS.Ruum:21)

Demikian pula seorang wanita yang masih hidup sendiri dan meninggal dalam keadaan belum sempat menikah, maka dia diberi pilihan sehingga dia memilih siapa yang dia sukai yang lebih mirip dengannya dalam hal tabiat dan akhlak, lalu Allah Azza wajalla mewujudkan apa yang menjadi permintaannya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa aalihi wasallam:

«مَا فِي الجَنَّةَ أَعْزَبُ»

"tidak ada bujangan di dalam surga."

(dikeluarkan Imam Muslim dalam shahihnya,kitab: al-jannah wa na'imuha, bab: awwalu zumratin tadkhulul jannah… : 4147, dan Ahmad dalam musnadnya (7112) dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Dan ilmu ada disisi Allah, dan akhir ucapan kami alhamdulillahi rabbil 'alamin

Shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan saudara-saudaranya hingga hari kiamat.



Al-Jazair,26 dzulqa'dah 1429 H

Bertepatan dengan tanggal: 23 November 2008 M

Alih bahasa: Abu Karimah Askari bin Jamal

Kewajiban Bertauhid Dan Menjauhi Kesyirikan

Tujuan Diciptakannya Manusia
Tak jarang dari umat manusia yang belum memahami dengan sebenarnya akan hakekat keberadaannya di muka bumi ini.
Sebagian mereka beranggapan bahwa hidup ini hanyalah proses alamiah untuk menuju kematian. Sehingga hidup ini tak ubahnya hanyalah makan, minum, tidur, beraktifitas dan mati, lalu selesai! Tanpa adanya pertanggungjawaban amal di hari kiamat kelak.
Allah , Pencipta semesta alam mengingkari anggapan batil ini dengan firman-Nya (artinya): “Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, (sebagian) kami ada yang mati dan sebagian lagi ada yang hidup (lahir). Dan tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa.” Mereka sekali-kali tidak mengerti tentang hal itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (Al Jatsiyah: 24)
Bila demikian keadaannya, lalu apa tujuan diciptakannya kita di muka bumi ini?
Para pembaca, sesungguhnya keberadaan kita di muka bumi ini tidaklah sia-sia belaka. Allah berfirman (artinya): “Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian sia-sia belaka?” (Al Mu’minun: 115)
Bahkan dengan tegas Allah menyatakan (artinya): “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (mengesakan ibadahnya) kepada-Ku, Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan pada-Ku, Sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan Lagi Maha Sangat Kuat” (Adz Dzariyat: 56-58)
Tentunya, ibadah di sini hanyalah berhak diberikan kepada Allah semata, karena Dia-lah satu-satunya Pencipta kita dan seluruh alam semesta ini. Allah berfirman (artinya): “Hai manusia beribadahlah kepada Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dan Dia yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan sebab itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu janganlah kamu menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui.” (Al Baqarah: 21-22)
Demikianlah hikmah dan tujuan penciptaan kita di muka bumi ini.
Makna Ibadah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ibadah adalah suatu nama yang mencakup seluruh perkara yang dicintai oleh Allah dan diridhai-Nya baik berupa ucapan maupun perbuatan, baik yang dhahir maupun batin.”
Asal ibadah adalah ketundukan dan perendahan diri. Suatu ibadah tidaklah dikatakan ibadah sampai pelakunya bertauhid yaitu mengikhlashkan peribadatan hanya kepada Allah dan meniadakan segala sesembahan kepada selain Allah . Atas dasar itu Ibnu Abbas berkata: “Makna beribadah kepada Allah adalah tauhidullah (yaitu mengesakan peribadahan hanya kepada Allah).
Itulah realisasi dari kalimat tauhid لاَ إِلهَ إلاَّ الله . لاَ إِلهَ إلاَّ الله merupakan kalimat yang sangat akrab dengan kita, bahkan kalimat inilah yang kita jadikan sebagai panji tauhid dan identitas keislaman. Ia sangat mudah diucapkan, namun menuntut adanya sebuah konsekuensi yang amat besar. Oleh karena itu, Allah gelari kalimat ini dengan “Al ‘Urwatul Wutsqo” (buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus), sebagaimana dalam firman-Nya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (segala apa yang diibadahi selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah: 256)
Dakwah Tauhid Adalah Misi Utama Yang Diemban Para Rasul
Tujuan pokok diutusnya para Rasul adalah menyeru umat manusia agar beribadah hanya kepada Allah semata, dan melarang dari peribadatan kepada selain-Nya, sebagaimana Allah berfirman (artinya): “Sungguh tidaklah Kami mengutus seorang rasul pada setiap kelompok manusia kecuali untuk menyerukan: “Beribadalah kalian kepada Allah saja dan tinggalkan thaghut (yakni sesembahan selain Allah).” (An Nahl: 36)
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan padanya bahwa tidak ada sesembahan yang haq diibadahi melainkan Aku, maka beribadahlah kepada-Ku”. (Al Anbiya’: 25)
Nabi Nuh sebagai seorang rasul pertama mengajak umatnya kepada tauhid selama 950 tahun. Demikian pula Rasulullah e selama 13 tahun tinggal di Mekkah menyeru umatnya kepada tauhid dan dilanjutkan di Madinah, sampai-sampai menjelang wafat pun beliau tetap mewanti-wanti tentang pentingnya tauhid dan bahayanya syirik, beliau berkata:
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيآئِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kuburan nabi mereka sebagai sebagai masjid-masjid.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Sebagaimana pula yang beliau wasiatkan kepada Sahabat Mu’adz bin Jabal t tatkala diutus ke negeri Yaman:
إِنَّكَ تَقْدمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَى أَنْ يُّوَحِّدُوا اللهَ تَعَالى …
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi sekelompok kaum dari Ahlul Kitab, maka jadikanlah yang pertama kali dalam dakwahmu, (ajakan) supaya mereka mau bertauhid kepada Allah .” (HR. Muslim)
Tauhid Adalah Solusi Dari Problema Umat
Di kancah perselisihan dakwah dengan lahirnya berbagai macam bendera-bendera Islam yang semuanya mengatasnamakan Islam. Sebagian mereka mengatakan Islam tidak akan maju dan mulia selama tidak memperhatikan sisi ekonomi kaum muslimin. Yang lain berpandangan bahwa medan politik adalah solusi umat, meraih kekuasan adalah target utama sebagai jembatan penegak syari’at di muka bumi, dan sekian banyak logika-logika yang hanya berdasarkan kepada perasaan ataupun emosional semata tanpa didasari dengan ilmu.
Para pembaca yang mulia, perhatikanlah berita penegasan dari Allah , bahwa dakwah tauhid yang merupakan tujuan diutusnya para rasul dan para nabi, dan diturunkannya kitab-kitab suci dari langit, adalah faktor terbesar untuk meraih kejayaan, mengangkat kehormatan, kemuliaan dan kesejahteraan kaum muslimin. Allah berfirman (artinya): “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Yaitu mereka tetap beribadah hanya kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An Nur: 55)
“Jikalau penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami melimpahkan berkah dari langit dan bumi.” (Al A’raf: 96)
Dan tauhid merupakan landasan utama dari sebuah keimanan dan ketakwaan.
Keutamaan Tauhid
Allah I tidaklah mewajibkan suatu perkara, melainkan pasti padanya terdapat keutamaan-keutamaan yang sangat mulia. Begitu pula dengan “Tauhid” yang merupakan perkara paling wajib dari perkara-perkara yang paling wajib, tentunya pasti mempunyai berbagai keutamaan. Di antara keutamaannya ialah:
1. Tauhid Adalah Tingkat Keimanan Yang Tertinggi
Kita ketahui bahwa iman itu bertingkat-tingkat, dan tingkatan yang tertinggi adalah kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallah. Rasulullah r bersabda:
اَلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَإِلهَ إِلاَّالله وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ
“Iman itu ada enam puluh cabang lebih, yang paling tinggi adalah perkataan/ucapan Laa Ilaaha Illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” (HR. Muslim)
2. Tauhid Sebagai Syarat Diterimanya Suatu Ibadah
Allah I berfirman (artinya):
“Seandainya mereka menyekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al An’am: 88)
3. Tauhid Merupakan Sebab Bagi Datangnya Ampunan Allah I
Hal ini didasarkan kepada firman Allah I: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik (ketika pelakunya meninggal dunia dan belum bertaubat darinya), dan Dia mengampuni dosa yang di bawah syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (An Nisa’: 48 & 116)
4. Tauhid Sebagai jaminan Masuk ke Al Jannah Tanpa Hisab
Ketika para shahabat bertanya-tanya tentang 70.000 orang dari umat Muhammad r yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab, maka Rasulullah r bersabda:
هُمُ الَّذِينَ لاَ يَسْتَرْقُونَ وَلاَ يَكْتَوُونَ وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“… mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay dan tidak mengundi nasib dengan burung dan sejenisnya dan mereka bertawakkal hanya kepada Allah.” (H.R. At Tirmidzi)
5. Orang Yang Tauhidnya Benar Pasti Akan Masuk Al Jannah
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah r:
مَنْ لَقِيَ اللهَ لاَ يُشْرِكُ بِه شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa bertemu Allah dalam keadaan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, niscaya dia akan masuk surga.” (H.R. Muslim)
6. Tauhid Merupakan Sumber Keamanan
Sebagaimana firman Allah I (artinya): “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kedhaliman (kesyirikan), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al An’am: 82)
Bagaimanakah Bahaya Syirik ?
Syirik merupakan lawan dari tauhid. Kalau tauhid mengandung makna menunggalkan Allah dalam hal ibadah, maka syirik mengandung makna menyekutukan Allah dalam hal ibadah. Di saat tauhid mempunyai banyak keutamaan maka sebaliknya syirik pun sangat berbahaya dan mempunyai banyak mudharat. Di antaranya adalah:
1. Dosa Syirik Tidak Akan Diampuni Oleh Allah I
Allah I berfirman (artinya):
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik (ketika pelakunya meninggal dunia dan belum bertaubat darinya), dan Dia mengampuni dosa yang di bawah syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (An Nisa’: 48 & 116)
2. Kesyirikan Adalah Kedhaliman Yang Besar
Firman Allah I (artinya): “Sesungguhnya kesyirikan adalah kedhaliman yang besar.” (Luqman: 13)
3. Orang Yang Meninggal Dunia Dalam Keadaan Musyrik Akan Masuk Neraka Dan Kekal Di Dalamnya
Allah berfirman (artinya):
“Sesungguhnya barangsiapa yang menyekutukan Allah maka sungguh Allah mengharamkan baginya surga, dan tempat kembalinya adalah neraka dan tidak ada penolong bagi orang-orang yang dhalim.” (Al Maidah: 72)
Rasulullah r juga bersabda:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ
“Barangsiapa meninggal dunia dan dia berdo’a kepada selain Allah niscaya dia masuk neraka.” (HR. Al Bukhari)
4. Kesyirikan Penyebab Terpecah Belahnya Umat
Firman Allah I (artinya):
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar Ruum: 31-32)
Semoga Allah menjauhkan kita semua dari kesyirikan, dan menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang bertauhid, dan para penghuni jannah (surga)-Nya. Amin…

TAHLILAN DALAM TIMBANGAN ISLAM

Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata’ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.
Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.
Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.
Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.
Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah berfirman (artinya):
“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)
Historis Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.
Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:
Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.
1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)
Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).
Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?
Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More