Kyai-ku lebih pintar dari kamu!”, “Imamku-lah yang paling benar!”,
Ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasehat
disampaikan. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme golongan,
penyakit yang telah lama menjangkiti umat.
Begitu hebatnya
penyakit ini melanda kaum muslimin seakan-akan sudah menjadi wabah yang
tidak ada obatnya di dunia ini. Dan akibat taqlid ini, muncullah
sikap-sikap fanatik terhadap apa yang ada pada dirinya atau kelompoknya.
Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu
tidak mau menikahkan puterinya dengan pria dari madzhab lain, tidak mau
pula shalat di belakang imam yang berbeda madzhab, dan sebagainya.
Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling
mengkafirkan.
Inilah sesungguhnya
penyakit yang menimpa Iblis durjana, makhluk pertama yang mendurhakai
Allah ?, disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana dia merasa unggul
karena unsur asal dia diciptakan. Allah ? menerangkan tentang kepongahan
Iblis tatkala ia protes kepada Allah ?, yang artinya:
“Aku lebih baik daripadanya (Adam). Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” (Al A’raf : 12).
DEFINISI TAQLID
Taqlid
secara bahasa diambil dari kata (قَلَّدَ - يُقَلِّدُ) yang bermakna
mengikatkan sesuatu di leher. Jadi orang yang bertaqlid kepada seorang
tokoh tertentu, ibarat diberi tali yang mengikat lehernya untuk ditarik
seakan-akan hewan ternak.
Sedangkan menurut istilah, adalah
beramal dengan pendapat seseorang atau golongan tanpa didasari oleh
dalil atau hujjah yang jelas dari Al Qur’an atau As Sunnah.
Dari
pengertian ini, jelaslah bahwa sikap taqlid bukanlah sikap yang ilmiah,
tidaklah ia muncul kecuali dari kebanyakan orang awam yang jauh dari
bimbingan ilmu.
TAQLID MERUPAKAN SIKAP YANG TERCELA
Allah ?
telah mencela sikap taqlid ini dalam beberapa ayat-Nya dan menjelaskan
kepada kita sikap taqlid ini adalah kebiasaan kaum musyrikin ketika
sampai dakwah para nabi kepada mereka. Allah ? berfirman yang artinya:
“Apakah
seandainya telah kami datangkan kepada mereka sebuah kitab (hujjah)
sebelum munculnya kesyirikan yang mereka lakukan, kemudian mereka mau
berpegang dengannya? Ternyata justru mereka berkata: “Sesungguhnya kami
telah mendapati nenek moyang kami diatas sebuah prinsip (aqidah yang
mereka yakini), maka kami adalah orang-orang yang mendapat petunjuk
dengan mengikuti jejak pendahulu kami. ” (Az Zukhruf : 21)
Dan juga firman Allah, dalam ayat lain yang artinya:
“Dan
apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan oleh
Allah, mereka menjawab: “Tidak, bahkan kami hanya mengikuti apa-apa yang
kami dapati dari kebiasaan nenek moyang kami.” (Al Baqarah: 170)
Al-Imam
Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: “Ayat-ayat ini merupakan dalil
terkuat tentang batil dan jeleknya sikap taqlid. Karena sesungguhnya
orang-orang yang bertaqlid tidaklah mereka beramal dalam perkara agama
ini kecuali hanya bertaqlid dengan pendapat para pendahulu yang mereka
warisi secara turun temurun. Dan apabila datang seorang da’i yang
mengajak mereka untuk keluar dari kesesatan, dan kembali kepada al-haq,
atau menjauhkan mereka dari kebid’ahan yang mereka yakini serta mereka
warisi dari para pendahulu mereka itu, tanpa didasari dalil yang jelas
–hanya berdasarkan “katanya dan katanya”-, mereka mengatakan pernyataan
yang sama dengan pernyataan orang-orang kafir yang hidup di masa para
Rasul.
BAHAYA TAQLID Di antara bahaya taqlid yang bisa disebutkan dalam kajian ini:
1. Menghalangi pelakunya untuk menerima kebenaran.
2.
Memperuncing perselisihan dan perpecahan di tengah-tengah umat, karena
masing-masing pihak mendahulukan pendapat pimpinan atau nenek moyang
mereka terhadap ketentuan Al Qur’an dan Sunnah Rasul, yang kita
diperintah untuk berpegang dengan keduanya dan mengembalikan setiap
perkara yang diperselisihkan kepada keduanya. Sebagaimana firman Allah ?
yang artinya:
“Jika kalian berselisih dalam suatu perkara
hendaknya kalian mengembalikan (jawaban atau penyelesaiannya) kepada
Allah dan Rasul-Nya, jika kalian (benar-benar) beriman kepada Allah dan
hari akhir , karena sesungguhnya yang demikian itu lebih utama bagi
kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’ : 59)
3. Sikap taqlid
dengan mendahulukan pendapat seseorang daripada perkataan Allah dan
Rasul-Nya, merupakan sebab datangnya adzab dan tersebarnya fitnah,
sebagaimana Allah berfirman yang artinya:
“Berhati-hatilah mereka
yang selalu menyelisihi perintahnya (Rasul) akan menimpa kepada mereka
fitnah atau adzab yang pedih.” (An Nur:63)
4. Sikap taqlid ini
akan mengantarkan pelakunya kepada penyesalan yang tak kunjung usai di
hari kiamat, karena para pemimpin atau nenek moyang (pendahulu) yang
dipanuti secara taqlid akan berlepas diri dari para pengikut mereka.
Sebagaimana firman Allah ? yang artinya:
“Ketika orang-orang yang
diikuti (dengan taqlid) berlepas diri dari para pengikut mereka, dan
mereka telah melihat adanya adzab dan ketika itu segala bentuk hubungan
antara mereka terputus sama sekali, dan kemudian berkata para pengikut:
“Seandainya kami dapat kembali ke (dunia) pasti kami akan berlepas diri
dari mereka (para pemimpin yang dipanuti) sebagaimana mereka berlepas
diri dari kami…” (Al Baqarah: 66-167)
Dan juga firman Allah yang artinya:
“Dan
alangkah dahsyatnya ketika kamu melihat orang-orang dholim dihadapkan
kepada Tuhan-nya sebagian mereka melemparkan tuduhan kepada yang
lainnya, berkatalah orang-orang yang lemah (dari kalangan para pengikut)
kepada orang-orang yang menyombongkan diri (dari kalangan pemimpin):
“Kalau bukan karena kalian tentulah kami menjadi orang-orang yang
beriman, maka menjawablah orang-orang yang menyombong-kan diri (para
pemimpin): “Apakah kami yang menghalangi kalian dari petunjuk ketika
petunjuk tersebut datang kepada kalian? Justru kalian sendirilah
orang-orang yang berdosa (dengan meninggalkan petunjuk tersebut), maka
orang-orang yang lemah menjawab kepada orang-orang yang menyombong-kan
diri: “Justru sebenarnya tipu daya kalianlah (yang secara terus menerus)
malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kalian menyeru supaya
kami mengingkari Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya.” Kedua
belah pihak menyatakan penyesalan tersebut tatkala mereka semua melihat
adzab.. .” (As Saba’: 31-34)
UCAPAN PARA IMAM TENTANG TERCELANYA TAQLID
Al
Imam Abu Hanifah rahimahullah mengatakan, ”Tidak halal bagi siapapun
mengambil pendapat kami tanpa mengetahui dari mana dasar hujjah yang
Kami ambil.” Dalam riwayat lainnya, beliau mengatakan ,” Haram bagi
siapapun yang tidak mengetahui dalil yang saya pakai, untuk berfatwa
dengan pendapat saya. Karena sesungguhnya kami adalah manusia, pendapat
yang sekarang kami ucapkan, mungkin besok kami rujuk (kami tinggalkan
pendapat tersebut).
Al Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Saya
hanyalah manusia biasa yang mungkin salah dan mungkin benar. Maka
telitilah pendapatku, apabila sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka
ambillah. Dan apabila tidak sesuai dengan keduanya maka tinggalkanlah.”
Al
Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, ”Semua permasalahan yang
sudah disebutkan dalam hadits yang shohih dari Rasulullah ? dan berbeda
dengan pendapat saya, maka saya rujuk dari pendapat itu baik ketika saya
masih hidup ataupun sudah meninggal dunia.”
Al Imam Ahmad
mengatakan, “Janganlah kalian taqlid kepadaku dan jangan taqlid kepada
Malik atau Asy Syafi’i, atau Al Auza’i, atau (Sufyan) Ats Tsauri. Tapi
ambillah (dalil) dari mana mereka mengambil.”
Al-‘Allamah
Al-Ma’shumi berkata: “Bahwa termasuk pergeseran yang terjadi dalam agama
adalah adanya prinsip dan kewajiban bahwasanya seorang muslim harus
bermadzhab dengan satu madzhab tertentu dan bersikap fanatik meskipun
dengan alasan yang batil. Padahal madzhab-madzhab ini baru muncul
sesudah berakhirnya masa tiga generasi terbaik umat ini. Dan akhirnya
dengan prinsip bid’ah ini tercapailah tujuan Iblis di dalam
memecah-belah kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah ? dari hal
itu.”
Beliau juga menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan
bahwasanya seseorang harus bermadzhab dengan satu madzhab tertentu,
sesungguhnya dibangun di atas satu kepentingan politik tertentu, dan
ambisi-ambisi. Dan sesungguhnya atau tujuan pribadi madzhab yang haq dan
wajib diyakini dan diikuti adalah madzhab junjungan kita Nabi Muhammad ?
yang merupakan Imam yang Agung yang wajib diikuti, kemudian para
Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيَّيْنَ
“Wajib
bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al
Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing…” (Shahih, HR. Abu Dawud, At
Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari shahabat Al ‘Irbadh bin
Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455).
Allah ? berfirman yang artinya:
“Dan
apa-apa yang datang dari Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang
kamu dilarang mengerjakannya maka jauhilah.” (Al-Hasyr : 7).
Dan
adapun yang dimaksud dengan Sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin yang harus
diikuti tidak lain adalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan Sunnah
Rasulullah ?.
Maka setelah kita melihat bahaya taqlid tidak
semestinya bagi setiap muslim untuk bertaqlid dalam perkara agama dan
hendaknya tidak beramal suatu amalan tertentu kecuali berdasarkan hujjah
dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai yang dipahami oleh para sahabat
Nabi ? serta menjauhkan diri dari cara bersikap orang-orang kafir ketika
datang kepada mereka sebuah hujjah.
Wallahu a’lam bish-shawab
KEGIATAN MANASIK HAJI
Kegiatan Berlangsung di Area Sekolah Oleh Guru Kelas
Media Interaktif Multimedia Komputer
Kegiatan Berlangsung di Laboratorium Komputer
Berprestasi Dalam Setiap Kompetensi
Penghargaan di Berikan di Sela Acara Kegiatan di TK Al Umm
Praktek Sholat Berjamaah di Sentra Ibadah
Kegitan Berlangsung di Aula Musholla TK Al Umm
Belajar Seni Beladiri Tapak Suci
Kegiatan Ekstrakurikuler di TK Al Umm Kembiritan
0 komentar:
Posting Komentar